Kenapa Ya? Di antara kita pasti ada yang bertanya begitu. Atau bahkan berpendapat begitu. Baru saja selesai ikut seminar parenting, setelahnya seorang Bapak ada yang langsung berkata “Nih, parenting itu cuma teori doang, prakteknya tetap sama saja.” Lanjut orang itu berkata, “Pas anak rewel, tetap aja emosi yang ada. Semua ga segampang ucapan, harus gini, harus gitu”.
Apa yang Bapak itu pikirkan dan rasakan, bisa jadi sama dengan yang kita pikirkan. Apalagi bagi yang baru tahu tentang parenting. Pendapat-pendapat itu tidak salah. Pendapat itu terucap karena membandingkan antara materi yang dia dapat dalam kelas parenting, dengan pengalamannya masing-masing. Ketika rasanya banyak benturan, maka keluarlah statement itu.
Ilmu parenting sudah ada sejak dulu
Ilmu parenting hadir bukan hanya baru-baru ini saja. Namun sudah sejak dulu sekali. Sejak manusia diciptakan kemudian memiliki keturunan. Saat itulah lahir ilmu tentang pengasuhan anak, yang sekarang popular dengan istilah parenting.
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam beberapa hadistnya menjelaskan juga tentang parenting. Kemudian berkembang hingga sekarang. Banyak seminar, kelas-kelas parenting dan komunitas parenting. Selain itu di internet juga banyak situs-situs yang membahas tentang parenting. Blog sederhana kenapaya.id salah satunya.
Direkomendasikan untuk belajar langsung secara tatap muka dalam seminar dan kelas-kelas parenting, serta join komunitasnya. Adapun informasi-informasi dari internet sebagai media pembantu dan pelengkap dari materi-materi yang sudah kita terima dari pelatihan parenting tersebut.
Direkomendasikan untuk belajar langsung secara tatap muka dalam seminar dan kelas-kelas parenting, serta join komunitasnya.
kenapaya.id
Seorang pakar parenting, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari atau sapaan akrabnya Aba Ihsan. Berdasarkan pengalaman beliau selama 18 tahun belakangan. Dari hasil wawancara dengan banyak orangtua. Setidaknya ada 7 penyebab yang membuat ilmu parenting seolah tidak berguna.
1. Tidak lengkap belajarnya, alias cuma sepotong-sepotong
Akses informasi yang melimpah di satu sisi memang menyediakan banyak ragam informasi termasuk soal parenting. Tapi di sisi lain, ketika informasi yang kita dapatkan sporadis, tidak terstruktur, tidak bertahap, tidak utuh, maka yang terjadi adalah KEBINGUNGAN. Maka tak heran jika metodenya begini, yang terjadi adalah makin banyak belajar parenting, malah makin tertekan jadi orangtua, bukan malah jadi makin percaya diri.
Ada perbedaan antara orangtua yang belajar parenting dengan yang tidak. Orangtua yang pernah belajar parenting, mengetahui bahwa membentak anak itu salah. Karena bisa merusak neuron otaknya. Nah orangtua ini di satu sisi merasa bersalah membentak anak. Tapi di sisi lain masih banyak yang belum dipelajari. Adakah cara lain agar anak patuh, tak bikin jengkel, tanpa harus keluar bentakan?
Umumnya yang baru dia pelajari selanjutnya saran-saran semacam ini : “Nasihati anak dengan lembut!” atau “Ingatkan anak dengan bahasa yang sudah mereka pahami.” Lalu dipraktikkanlah nasihat parenting itu, saat anak bikin jengkel anaknya segera dinasihati atau diberikan penjelasan lembut.
Eh, tahunya apa yang terjadi kemudian? Anaknya tak mau mendengarkan, malah tambah teriak, tambah ngamuk, tambah merusak barang-barang. Gimana dong? Saat frustasi melanda itulah akhirnya dia berkata “Ah ilmu parenting teori semua!”
Padahal yang terjadi adalah yang dia pelajari tidak utuh, tidak semuanya. Memberi nasihat anak itu memang baik. Tapi benarkah jalan satu-satunya hanya dengan memberi nasihat untuk membuat anak tidak menjengkelkan? Apakah anak-anak bermasalah di dunia ini kurang nasihat?
Dengan bahasa lugas dan santai, Aba Ihsan menyampaikan, makanya belajarnya jangan comot sana-sini doang di internet. Ikuti kelas-kelas komprehensif, datangi pelatihan, datang kajian, lalu banyak bertanya. Di sini tidak akan bahas itu karena memang tema tulisan ini tujuannya, agar kita tak luntur semangat belajar saat merasa terbentur tembok.
Ikuti kelas-kelas komprehensif, datangi pelatihan, datang kajian, lalu banyak bertanya.
kenapaya.id
2. Kurang latihan dan minim jam terbang
Pada penyebab kedua ini, Aba Ihsan mengumpamakan dengan orang belajar menyetir mobil. Apakah seseorang yang awam mengenai mobil, kemudian belajar menyetir 5 – 10x pertemuan langsung lancar jaya mengendarai di jalan raya?
Tentu tidak bukan. Beliau meyakini, bahkan kita pun juga sependapat bahwa, tidak ada satu pun metode belajar yang mampu membuat seseorang langsung terampil seketika tanpa ada latihan berulang. Pengulangan-pengulangan itulah yang membuat seseorang jadi mahir dan terampil. Begitupun dalam hal parenting ini.
3. Targetnya ketinggian atau berlebihan
Bagaimana caranya agar anak tidak berantem terus ya? Nah itu, salah satu contoh salah paham soal pengasuhan. Di mana sebagian orangtua, menargetkan diri mereka untuk berperilaku di level yang ketinggian bahkan mustahil.
Seperti contoh kasus di atas. “menghilangkan berantem” pada dua anaknya, Hal ini tidak mungkin. Sepanjang ada interaksi pasti ada gesekan, ada konflik. Targetnya harusnya bukan menghilangkan konflik sama sekali tapi bagaimana agar anak dapat mengelola konflik. Agar saat konflik mereka tidak saling menyakiti dan paham bagaimana kendari solusinya.
Jika ini mampu dikelola, normalnya, makin besar anak makin berkurang berantemnya dan berubah menjadi makin banyak kerjasamanya. Itulah yang dipelajari dalam parenting.
4. Belajarnya sekali-kali tidak berkali-kali
Setiap usia anak pastilah memberikan soal dan tantangan yang berbeda. Anak balita ada ujiannya. Anak SD ada ujiannya. Begitu juga anak kita yang sudah usia dewasa dan menjelang nikah. Semua ada tantangan-tantangannya.
Pernah dengar ungkapan “Anak saya tuh menguji banget”. Nah, sudah tahu ada ujian, kenapa tidak persiapan? Kenapa tidak belajar menghadapi ujian?
Anak ini ujiannya berkali-kali. Kenapa belajarnya cuma sekali?. Belajarnya 5 atau 10 tahun yang lalu berharap ilmunya masih relevan dengan anak di zaman sekarang. Pasti tidak relevan. Karena perilaku anak berubah dan lingkungan juga berubah.
5. Tidak bergabung dengan komunitas parenting
Komunitas itu adalah tempat pergaulan yang penting. Kenapa komunitas penting? Agar saat praktik mengalami kesulitan dapat saling menguatkan. Agar saat motivasi kita turun, segera dapat suntikan energi kembali. Benar kan?
6. Ingin hasil yang instan dan cepat
Di zaman di mana informasi beredar dengan sangat cepat. Dan teknologi memberikan banyak kemudahan pada manusia, membuat sebagian orang akhirnya terdorong untuk melakukan banyak hal serba ingin instan dan cepat hasilnya.
Sayangnya, anak kita bukanlah benda mati yang tidak punya hati dan emosi. Karena itu dari puluhan tahun yang lalu, upaya meloncatkan anak-anak berbakat agar menjadi manusia yang meloncat hasil prestasinya (akselerasi) sering berujung pada kepedihan di akhir kehidupannya. Secara akademik mereka memang terbukti cerdas, tapi ingat, pekembangan emosi manusia tidak bisa dipercepat.
Sebagian orangtua ingin anaknya cepat memperlihatkan hasil dari belajarnya tapi lupa memeriksa prosesnya. Ingin cepat hafal Qur’an, tapi melewati tahapan penanaman iman. Terampil dan cakap dengan banyak pengetahuan tapi lupa mengajarkan adab. Bersemangat mengejar prestasi, tapi lupa mendidik akhlak. Sejak dini mengajarkan entrepreneurship tapi lupa mengajarkan leadership.
Sebagian orangtua ingin anaknya cepat memperlihatkan hasil dari belajarnya tapi lupa memeriksa prosesnya.
kenapaya.id
Demikian juga, saat sebagian orangtua sudah bersedia belajar parenting, sayangnya sebagian mereka menuntut diri mereka dapat menjadikan anak-anak mereka berperilaku shalih, patuh dan mandiri dengan cepat. Apalagi misalnya, anak sudah terlanjur maaf “berperangai buruk” bertahun-tahun. ingin anaknya baik dalam setahun.?
7. Tidak benar-benar menyerap ilmu saat belajar
Boleh jadi diantara tujuh penyebab, yang terakhir inilah yang mungkin paling banyak terjadi. Ia memang benar rajin dan sering hadir di majlis ilmu, kajian atau seminar tapi hanya tubuhnya yang dihadirkan. Hatinya tidak. Atau yang dapat dicek misalnya masih menutup mindsetnya saat belajar. Akhirnya, ratusan kali seminar, training, dauroh, kajian, ta’lim sepertinya bakal sulit merubah perilaku kita.
Aba Ihsan lebih jelas mengemukaan, Tertutup dengan apa sih? Dengan ego, takabur dan kesombongan. Seperti disebutkan di salah satu “surat pendidikan” Luqman 31:7: “Apabila dibacakan ayat-ayat kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri…”
Wujudnya? Tubuhnya ada di majlis ilmu, tapi mata dan telinganya fokus main hape. Tubuhnya ada di majlis ilmu, tapi pikirannya dari awal sudah ditutup rapat-rapat sehingga sepanjang jalan kajian terus melakukan penolakan-penolakan.
Terakhir, beliau menutup dengan harapan kita semua dihindarkan 7 sebab kesia-siaan belajar seperti disebutkan. Jika kita bisa melewati atau menghindari penyebab tersebut. Dari pengalaman beliau membimbing para orangtua belajar, insya Allah selalu ada perbedaan orangtua yang belajar dengan yang tidak. Mungkin kita belum merasa ada hasil sekarang, tapi lihat pada tahun-tahun mendatang.
Sumber referensi: Abaihsan.id
Alhamdulillah jadi tercerahkan. Makasih sharingnya. Jadi semangat belajar lagi.
Alhamdulillah..