Parents, familiar dengan ungkapan “Dit, tolongin Dit…”? Kalimat ini populer dari karakter Dennis dalam serial Adit dan Sopo Jarwo. Saking ikoniknya, kalimat ini sering anak-anak ucapkan dalam permainan mereka menirukan karakter dennis tersebut, bahkan juga viral di berbagai platform media sosial.
Dalam serial tersebut, Dennis digambarkan sebagai anak yang manja, selalu bergantung pada Adit dalam segala situasi—mulai dari urusan bermain, menghadapi masalah kecil, hingga hal-hal yang seharusnya bisa ia lakukan sendiri.
Sekilas, karakter ini terlihat lucu dan menghibur. Namun jika kita amati lebih dalam, Dennis adalah representasi dari fenomena pola asuh yang keliru dan semakin banyak terjadi di sekitar kita.
Fenomena Anak “Dit, Tolongin Dit”

Dennis bukan sekadar karakter fiksi. Banyak anak di dunia nyata yang tumbuh dengan sifat serupa—tidak mandiri, mudah panik saat menghadapi masalah, tidak terbiasa mengambil keputusan, dan cenderung selalu bergantung pada orang lain, terutama pada orang tuanya.
Sayangnya, kondisi ini sering kali bermula dari pola asuh yang terlalu “membantu”. Niat baik orang tua yang ingin anaknya nyaman, aman, dan tidak mengalami kesulitan sering berujung pada perilaku yang melemahkan kemandirian anak.
Contohnya, saat anak belum meminta tolong, orang tua sudah terlebih dulu mengambilkan barangnya. Ketika anak terlihat bingung, orang tua langsung memberi solusi tanpa membiarkan anak berpikir. Bahkan ketika anak melakukan kesalahan atau gagal, ada orang tua yang justru menyalahkan lingkungan, bukan mengajak anak belajar dari pengalaman.
Akibatnya, anak kehilangan kesempatan untuk menghadapi tantangan, belajar dari kegagalan, atau menemukan solusi sendiri. Mereka tidak terlatih untuk percaya pada kemampuannya dan tumbuh menjadi pribadi yang pasif serta mudah menyerah.
Mengapa Kemandirian Itu Penting?

Kemandirian bukan hanya soal bisa makan sendiri, berpakaian sendiri, atau membereskan mainan tanpa orang tua suruh. Lebih dari itu, kemandirian adalah fondasi dari tanggung jawab, kepercayaan diri, kemampuan menyelesaikan masalah, dan daya tahan terhadap tekanan hidup. Anak yang suka orang tua biasakan mandiri akan lebih siap menghadapi kehidupan yang penuh tantangan, baik secara akademis, sosial, maupun emosional.
Anak yang terbiasa mengambil keputusan, menyelesaikan masalahnya sendiri, dan berani mencoba, akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri. Sebaliknya, anak yang terus-menerus orang tua bantu akan cenderung bergantung, ragu-ragu, dan takut mengambil risiko.
Menumbuhkan Kemandirian Sejak Dini

Membiasakan anak mandiri tidak harus dimulai dari hal besar. Justru dari kegiatan sederhana sehari-hari, anak bisa belajar banyak. Biarkan anak memakai bajunya sendiri meskipun terbalik, mengikat tali sepatunya meskipun belum rapi. Termasuk menyiapkan tas sekolahnya sendiri meskipun masih perlu diingatkan. Karena hal itu adalah bagian dari proses pembelajaran.
Ketika anak gagal, tidak perlu langsung membenarkan atau menggantikan. Biarkan mereka merasakan konsekuensinya dan bantu mereka merefleksikan. Saat anak bingung, bukan solusi instan yang perlu orang tua berikan, tetapi pertanyaan-pertanyaan pemantik. Tujuannya agar mereka bisa berpikir dan mencoba menyelesaikan sendiri.
Peran orang tua bukan untuk menyelesaikan semua masalah anak, tetapi menjadi pendamping dan pelatih yang sabar, membimbing dari belakang sambil memberi kepercayaan.
Jangan sampai anak-anak kita tumbuh seperti Dennis, yang hanya bisa berkata, “Dit, tolongin Dit…” karena terbiasa mendapatkan pelayanan dan bantuan dalam segala hal. Dunia nyata menuntut anak-anak untuk kuat, berani, dan mandiri.
Mari ubah cara kita mendampingi anak. Biarkan mereka berproses, belajar dari kesalahan, dan tumbuh menjadi pribadi yang percaya pada kemampuannya. Karena kemandirian adalah bekal utama anak untuk menghadapi masa depan dengan percaya diri—berdiri dengan kakinya sendiri, melangkah tanpa harus selalu berkata, “Tolongin aku.”
Leave a Comment